AN Uyung Pramudiarja - detikHealth
Prof Michael Raghunath (detikHealth)
Hal ini diungkap oleh Prof Michael Raghunath, pakar bioteknologi dari National University of Singapore dalam diskusi dengan media di Hotel Four Seasons, Jakarta, Kamis (23/9/2010).
Menurutnya, masalah utama yang dihadapi dalam melakukan riset sel punca adalah soal fasilitas. Kultur media yang khusus dan laboratorium yang harus memenuhi Good Manufacturing Practice (GMP) tentu memakan biaya yang tidak sedikit.
Belum lagi masalah teknis penunjang yang lain. Karena harus disimpan dalam suhu sekitar minus (-) 400 derajat celcius, maka freezer yang digunakan harus selalu mendapat pasokan listrik dengan tegangan yang stabil.
Bukan hanya di Indonesia, Singapura menghadapi masalah yang sama dalam hal ini. Oleh karena itu dari sekian banyak riset yang pernah dilakukan di negara tersebut, belum ada satupun yang benar-benar bisa digunakan untuk pengobatan.
"Saat ini ada 50 hingga 70 riset tentang sel punca, tetapi belum banyak yang bisa dibilang berhasil. Semuanya baru sampai pada tahap uji klinis," ungkap Prof Michael.
Meski belum adanya jaminan keberhasilan bukan berarti sel punca tidak ada harapan sama sekali. Setidaknya, teknologi ini sudah menunjukkan perkembangan positif dalam mengatasi berbagai gangguan kesehatan.
Di Indonesia sendiri, sel punca sudah menunjukkan hasil positif dalam uji klinis untuk mengobati luka bakar. Sedangkan yang kini tengah berlangsung, sel pinca digunakan untuk mengatasi payah jantung(lemah jantung), serangan jantung dan osteo arthritis.
Prof Michael juga optimistis, di masa mendatang sel punca bisa mengatasi penderitaan pengidap HIV. Bukan untuk membunuh dan mencegah penularan virus, tetapi untuk mengembalikan sistem kekebalan tubuh sehingga terhindar dari
infeksi penyerta.
"HIV sendiri tidak akan membunuh seseorang. Tapi karena tidak punya pertahanan tubuh, ia bisa mati karena rentan berbagai infeksi oportunis. Sistem pertahanan tubuh ini yang bisa diperbaiki dengan sel punca," pungkas Prof Michael.
Komentar